KUPANG, BBC — Di sebuah kamar kos yang sempit di Kelurahan Naimata, keheningan menetes seperti doa yang tak pernah selesai. Hanya suara gesekan benang yang bergerak pelan, mengaduk udara dan memanggil kembali kisah-kisah lama yang tertinggal di sela-sela serat.
Di tengah sunyi itu duduk Shera Nuban, mahasiswi semester tiga Program Studi Pendidikan Seni Keagamaan IAKN Kupang, yang diam-diam tengah menganyam masa depannya dengan alat tenun sederhana dan tekad yang tak kalah kuat dari benang Buna Ayotupas.
Shera tidak hanya menenun kain; ia menenun ulang hidupnya. Setiap helai benang yang ia tarik adalah catatan etnografis, sebuah teks budaya yang ditulis tanpa pena namun sarat makna.
Dalam tekanan ekonomi, dalam tuntutan akademik, dalam tuntutan hidup yang jarang memberi jeda—Shera memilih bertahan dengan cara paling senyap, namun paling bermakna: kembali pada warisan yang diajarkan ibunya sejak masa kanak-kanak.
“Saya tahu menenun sejak kecil… Waktu daftar kuliah juga saya pakai hasil tenunan,” ujarnya, suaranya hampir tenggelam oleh suara alat tenun. Tatapannya jatuh pada motif yang belum sepenuhnya terbentuk, seolah ia sedang memeriksa kepingan mimpi yang masih harus diperjuangkan.
Di sela-sela jadwal kuliah, ketika banyak mahasiswa memilih istirahat atau sekadar menyambung napas, Shera kembali ke alat tenunnya. Di hadapan kayu tua yang pernah dipakai ibunya, ia menautkan benang-benang menjadi pola laba-laba, ikan dan motif-motif khas Ayotupas. Motif yang tidak hanya indah, tetapi juga menyimpan jejak generasi perempuan yang menenun sambil melawan hidup.
“Waktu free saya pakai untuk menenun, dan hasilnya untuk biaya kuliah dan kos,” katanya, jujur dan tenang, seperti seseorang yang sudah lama berdamai dengan kenyataan bahwa perjuangan adalah teman hidup sehari-hari.
Motif Buna Ayotupas bukan motif sembarangan. Ia kompleks, ia sulit, ia adalah representasi identitas masyarakat yang tidak ingin hilang. Tidak semua orang bisa menguasainya. Namun Shera telah mempelajarinya langsung dari ibunya—pengetahuan yang rapuh, yang makin jarang diwariskan, namun tetap bertahan dalam tangan-tangan muda yang menolak menyerah pada perubahan zaman.
“Buna ini kan tidak semua orang tahu… Mama ajar saya, jadi saya tahu,” lanjutnya. Ada kesedihan halus dalam suaranya—kesedihan atas tradisi yang perlahan memudar—namun dari kesedihan itu tumbuh keberanian untuk menjaga apa yang masih bisa diselamatkan.
Kisah Shera adalah cermin akademis tentang resistensi budaya dan resiliensi pendidikan. Ia menunjukkan bahwa budaya bukan hanya warisan, tetapi strategi hidup; bukan hanya sejarah, tetapi sumber ekonomi mikro yang memberi harapan; bukan sekadar simbol identitas, tetapi alat untuk mempertahankan diri di tengah ketidakpastian.
Tenun Buna yang ia hasilkan bukan sekadar kain. Ia adalah manuskrip sunyi tentang identitas yang terus diperjuangkan. Setiap helai benang menyimpan duka yang perlahan dipintal menjadi kekuatan; setiap motif adalah arsip antropologis tentang keteguhan seorang perempuan muda; setiap kain adalah bukti bahwa pendidikan sering kali dibangun dari pengorbanan yang tidak tampak oleh mata.
Di tangan Shera Nuban, anyaman tradisional menjelma menjadi narasi kontemporer—narasi tentang seorang mahasiswi yang tidak hanya menghidupi budaya, tetapi juga menghidupi dirinya sendiri.
Dalam sunyi kamar kosnya, ia terus menenun: bukan hanya kain, tetapi juga masa depan yang ia susun dengan sabar—helai demi helai, kesedihan demi kesedihan, harapan demi harapan.
Kisah ini adalah pengingat bahwa mimpi tidak selalu lahir dari kelimpahan. Kadang, mimpi justru tumbuh dari ruang sempit, dari alat sederhana, dari keheningan yang panjang—dan dari tangan yang terus bekerja meski lelah.
Sebab bagi Shera, menyerah bukan pilihan. Yang ada hanyalah terus menenun, terus bertahan, terus percaya bahwa setiap benang dapat menjadi jembatan menuju hari esok.
Tetap Terhubung Dengan Kami:
Laporkan
Ikuti Kami
Subscribe
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
